Saturday, September 20, 2008

panduan main internet

testing

Tentang Selatpanjang

Feature: Ketika Kebun Sagu Terancam Jadi HTI
By : RIAU TODAY

''Kemana Lagi Kami Akan Menggantungkan Hidup?''
Laporan Kartini Fattach Alamat Email inidilindungi dari bot spam,
Anda Harus Mengaktifkan Javascript Untuk Melihatnya SELATPANJANG--Julukan kota sagu bagi Selatpanjang, Kecamatan Tebingtinggi, Kabupaten Bengkalis, terancam tinggal kenangan. Daerah penghasil ;sagu terbesar di Indonesia dengan produksi sagu basah 500 ton per bulan itu, terancam jadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Bagaimana nasib masyarakat yang kebun-kebunnya tercaplok HTI?
Ketenangan puluhan ribu warga desa di timur Pulau Tebingtinggi, tiba-tiba saja terusik. Ini terjadi setelah adanya kabar, desa tempat mereka menetap secara turun-temurun nyaris seabad itu, bakal berubah jadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Tidak ada angin tak ada hujan, ibarat disambar petir, tahu-tahu desa tempat mereka tinggal sudah dikeluarkan izin HTI. Padahal tidak pernah ada sepucuk suratpun pemberitahuan apalagi sosialisasi kepada warga, minimal aparatur pemerintahan setempat seperti Kepala Desa, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), bahwa desa tempat mereka beranak-pinak bakal ada aktivitas HTI. Tak tenang dengan kabar yang tak mengenakkan hati itu, warga melalui Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Kecamatan Tebingtinggi, mencari tahu apakah benar desa mereka akan kemasukan HTI. Dengan sedaya upaya, akhirnya FKKD yang beranggotakan 12 Kepala Desa (Kades) se-Kecamatan Tebingtinggi, memperoleh berkas-berkas perusahaan termasuk kawasan yang akan dijadikan HTI. Demi melihat peta kawasan HTI yang diberikan kepada PT Lestari Unggul Makmur itu, warga makin tak tenang. Pasalnya, dalam izin seluas 10.390 hektar itu, kawasan hutan diperkirakan hanya 30 persennya saja. Sedangkan 70 persen lagi, saat ini adalah lahan masyarakat yang sudah ditanami beragam tanaman perkebunan, seperti sagu, kelapa dan karet. Untuk tanaman sagu, bahkan kawasan Timur Pulau Tebingtinggi ini tercatat sebagai penghasil sagu terbesar di Indonesia, dengan produksi sekitar 500 ton per bulan. Produksi berupa sagu basah ini dikirim ke Cirebon, untuk kemudian di olah menjadi beragam panganan. Dari peta yang diperoleh masyarakat, juga tergambar bahwa kawasan izin HTI yang diberikan telah mencaplok kebun masyarakat tujuh desa. Desa-desa dimaksud diantaranya Desa Nipah Sendanu, Sungai Tohor, Lukun, Tanjung Sari, Tanjung Gadai, Teluk Buntal dan Kepau Baru. Mendapati kondisi ini, kecurigaan warga kian bertambah. Alhasil setiap ada kapal berlabuh di dermaga Harapan Baru, yang merupakan gerbang masuk daerah tersebut, puluhan pasang mata siap mengintai gerak-gerik orang asing yang turun dari kapal. Alergi terhadap kedatangan orang asing ke pulau tersebut sebenarnya bukanlah karaterisktik dari masyarakat Melayu di pulau yang tentram tersebut. Apalagi dari dulu, masyarakat Melayu dikenal ramah dan santun pada setiap tamu datang. Namun karakteristik warga yang ramah itu mulai berubah drastis, jadi lebih peka dan berhati-hati terhadap orang asing.
Kekhawatiran warga kian bertambah seiring dengan adanya aktivitas mematok-matok lahan yang dianggap masuk dalam kawasan HTI. Patokan tersebut memasuki kebun-kebun warga yang ditanami sagu, kelapa dan karet. ''Rencana pembukaan HTI itu menyulut kemarahan warga. Tanpa sosialiasi kepada warga pihak perusahaan sudah mematok-matok tapal batas HTI di perkebunan kelapa, karet dan sagu yang menjadi sumber kehidupan warga. Ini jelas penyerobatan lahan warga,'' kata Kades Nipah Sendanu, Natiran (45) ketika riautoday.com mendatangi desa tersebut sepekan lalu. Tak mudah untuk menuju Desa Nipah Sendanu yang berada di ujung Pulau Tebingtinggi ini. Dari ibukota Kecamatan Selatpanjang, satu-satunya transportasi untuk menuju daerah tersebut hanyalah sebuah ''speedboad'' berkapasitas 40 penumpang. Itupun hanya ada sekali sehari yang bertolak dari Selatpanjang setiap pukul 13.30 WIB. Menumpang ''speedboad'' ini, menuju ke Desa Nipah Sendanu harus menempuh sekitar 2 jam perjalanan. Penuturan Natiran, sejak adanya aktivitas mematok-matok kebun warga inilah amarah warga makin memuncak. Apalagi dalam bertugas mereka menyebarkan selembaran kertas yang berisikan pemberitahuan bahwa aktivitas mereka sudah mendapat izin sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 217/Menhut-II/2007 Tanggal 31 Mei. SK diteken Menhut MS Ka'aban. Dalam SK Menhut tersebut PT Lestari Unggul Makmur diberi izin atas Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (UPHHTI) seluas 10.930 hektare. Ini semakin diperkuat pula dengan surat rekomendasi dari Gubernur Riau dengan SK:552.2/Dishut/28.21 tanggal 9 Agustus 2006 dan Rekomendasi dari Wakil Bupati Bengkalis dengan SK: 522.1/PUK/270 tanggal 11 Mei 2006. Selain itu terdapat pula Amdal dari Gubri SK no: Kpts.553.a/XI/2006 tanggal 20 November 2006. Untuk izin yang diberikan Menhut seluas 10.390 hektar tersebut, terdiri atas Hutan Produksi yang di Konversi (HPK) seluas 3.930 hektar dan Hutan Produksi Tetap seluas 6.460 hektar.Ancam 'Periuk Nasi'Aktivias yang dilakukan 'orang suruhan' perusahaan ini membuat warga tak lagi bisa tinggal diam. Apalagi kebun-kebun tempat mereka menggantungkan 'periuk nasi' itu terancam jadi HTI. ''Kebun-kebun itu adalah sumber utama mata pencarian kami untuk menyambung hidup dan untuk menghidupi anak dan istri kami. Kalau itu dicaplok lantas kemana lagi kami akan menggantungkan hidup,'' keluh Mukhlis, salah seorang warga Desa Nipah Sendanu. Keluhan itu diungkapkan kepada riautoday.com saat berkunjung ke desa tersebut. Mukhlis sebagaimana juga halnya dengan warga-warga di tujuh desa yang tercaplok HTI, terlihat begitu bersemangat menemani siapa saja yang ingin melihat kondisi kampung mereka yang telah terkena HTI. Begitupun saat riautoday.com yang bertandang ke desa tersebut. Sejumlah kepala desa dan tokoh masyarakat yang letak desanya agak berjauhan dengan Desa Nipah Sendanu, dengan susah payah mengarungi jalan desa yang masih berupa tanah demi menemani riautoday.com melihat langsung lokasi kebun yang dipatok perusahaan. Benar saja, warga memperlihatkan patokan-patokan yang dibuat seadanya oleh 'orang suruhan' perusahaan itu. Patokan berupa papan, kayu dan termasuk juga pelepah kepala yang diambil dari kebun warga. Median-median tersebut diberi nomor secara berurutan pertanda kawasan sudah diukur. ''Lihatlah sendiri dek, kami tak mengada-ada menyatakan bahwa kawasan kebun kami sudah dicaplok dengan HTI ini. Kebun sagu yang di sana juga habis semua masuk kawasan areal HTI itu,'' tunjuk Drs Kantan Edwart, Kades Tanjung Sari yang turut menemani riautoday.com keluar masuk kawasan kebun warga yang penuh dengan belukar di Desa Nipah Sendanu itu.
Meski masuk di kawasan kebun warga, tapi warga pemilik kebun tak mau melakukan perlawanan, ataupun mencabut patok-patok yang sudah dibuat perusahaan itu. ''Kami sengaja tak mencabutnya. Itukan barang bukti bahwa mereka sudah mematok areal kebun kami. Biar ini di lihat sendiri oleh pemerintah selaku yang mengeluarkan izin, bahwa izin yang mereka keluarkan sudah mencaplok kebun warga. Itupun kalau mereka perhatian dengan nasib warganya,'' celoteh Mukhlis, salah seorang warga yang kebunnya ikut-ikutan di patok. Produksi Sagu BasahSesuai julukannya sebagai Kota >Sagu, produksi sagu di tujuh desa inilah yang memberi andil besar untuk julukan yang disandangkan ke Kota Selatpanjang itu. Dari Kades Nipah Sendanu, Natiran, diketahui bahwa di desa tersebut terdapat sekitar 11 kilang pengolah tual sagu menjadi sagu basah. Kilang-kilang sagu tersebut seluruhnya milik masyarakat setempat yang sumber bahan bakunya berasal dari ribuan hektar kebun sagu yang juga milik masyarakat setempat. ''Kebun sagu di sini berbeda dengan yang ada di pulau-pulau lain di Bengkalis ini. Sebab kebun sagu di sini dimiliki oleh warga setempat, bukan orang luar seperti di daerah lain,'' sebut Natiran. Selain di Nipah Sendanu, puluhan kilang sagu rakyat juga tersebar di enam desa lainnya. ''Untuk Desa Nipah Sendanu ini saja, diperkirakan per bulannya mampu menghasilkan 500 ton sagu basah yang dikirim ke Cirebon. Belum lagi ditambah produksi dari enam desa lainya. Produksi sagu di kawasan ini bahkan terbesar di Indonesia,'' cerita Natiran. Di Desa Nipah Sendanu ini, hidup sekitar 500 lebih Kepala Keluarga dengan luas daerah sekitar 65 Kilometer persegi. Sedangkan kawasan hutan yang dijadikan sebagai penyangga perkampungan dan kebun warga diperkirakan hanya sekitar 1 KM2 saja. Suyut (35), salah seorang pemilik sekaligus pekerja kilang sagu basah di Nipah Sendanu, sebagaimana warga lainnya juga cukup khawatir dengan rencana akan masuknya HTI di kawasan tersebut. Ini terkait dengan bakal terancamnya bahan baku yang akan dioleh kilangnya, yakni tual sagu untuk diolah jadi sagu basah. Kilang milik Suyut ini sudah dibuka sejak belasan tahun silam. Kilang itu tadinya milik orang tua Suyut dan sejak empat tahun belakangan dipercayakan kepada ayah tiga anak ini untuk mengelolanya. ''Kilang ini merupakan sumber utama pencarian kami yang telah kami usahakan sejak belasan tahun lalu,'' ucap Suyut. Kilang yang mempekerjakan empat orang pemuda kampung tersebut, memproduksi 30 ton sagu basah setiap bulannya. Sagu-sagu basah itu di jual ke penadah seharga Rp1.200 per kilogram. ''Kami cukup cemas kalau HTI itu benar-benar dibuka, dan kebun-kebun sagu bertukar jadi kebun Akasia milik perusahaan. Artinya kami kehilangan bahan baku untuk diolah kilang ini. Artinya juga, saya dan pekerja di sini akan menjadi pengangguran,'' ucap Suyut.Berjuang Selamatkan KebunTak terima kawasan kebun jadi HTI, warga mempercayakan kepada FKKD Tebingtinggi untuk memperjuangkan penolakan terhadap izin HTI tersebut ke pihak-pihak terkait dengan pengeluaran izin. Mulai dari Pemerintah Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Termasuk wakil-wakil mereka di DPRD Bengkalis dan DPRD RIau secara bergantian sudah didatangi Kades. Terakhir upaya ditempuh adalah menyurati Menhut MS Ka'aban agar meninjau ulang izin. Ada beberapa alasan desa mereka dibuka HTI. Alasan penolakan ini selalu disampaikan kepada pejabat dan wakil rakyat yang mereka temui. Alasan dimaskud diantaranya, pembukaan HTI mengancam hilangnya daerah sebagai penghasil sagu terbesar di Indonesia. Selain itu juga berdampak terhadap matinya pohon sagu dan kelapa warga akibat pembuatan kanal-kanal. Dari 10.930 hektare tersebut sekitar 60 persen berada di atas areal perkebunan kelapa dan sagu milik warga. Usaha tepung sagu tradisonal warga juga terancam tutup bila ada HTI di daerah tersebut. ''Sisa hutan yang akan mereka sulap mejadi HTI merupakan hutan penyanga bagi daerah dari bahaya banjir dan abrasi. Kami akan terus berjuang agar tidak ada pembukaan HTI di daerah kami. Kami juga meminta agar Menhut MS Kaban meninjau kembali SK tersebut,'' kata Natiran. Perjuangan penolakan FKKD Tebingtinggi ini mendapat dukungan dari Ketua DPRD Riau drh H Chaidir dan Anggota DPRD Riau dari Daerah Pemilihan Bengkalis-Dumai, Zulfan Heri. Chaidir menilai, adalah sangat tidak layak bila kawasan pulau seperti Tebingtinggi dikeluarkan izin HTI. ''Saya kira, tidak wajar bila kawasan pulau kecil seperti Tebingtinggi itu diberikan izin IUPHP-HTI. Ada baiknya izin itu ditinjau ulang,'' kata Chaidir. Dirinya telah pernah menerima pengaduan dari masyarakat melalui FKKD se-Kecamatan Tebingtinggi yang datang ke kantor DPRD Riau beberapa waktu lalu. Selain itu, Chaidir juga telah pernah mendatangi desa berdekatan dengan kawasan HTI di Pulau Rangsang. ''Saya sudah melihat langsung kehidupan masyarakat di pulau-pulau tersebut. Mereka sangat bergantung dengan kebun-kebun yang telah dibangun sejak turun-temurun. Bila disitu dikeluarkan izin HTI, lantas ke mana lagi mereka akan mencari kehidupan. Ini harus difikirkan bersama-sama,'' sebut politisi dari Partai Golkar ini. Komentar sama juga disampaikan Zulfan Heri. ''Saya sudah masuk ke seluruh desa di Kecamatan Tebingtinggi. Saya melihat langsung masyarakat menggantungkan kehidupannya dengan kebun-kebun rakyat itu. Kalau itu dialihfungsikan jadi HTI, saya khawatir akan menimbulkan pemiskinan massal bagi masyarakat di kampung-kampung itu. Jadi saya kira lebih baik izin dibatalkan saja,'' sebutnya. Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang pernah didatangi Kepala Desa, memerintahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf untuk melakukan survei. Sebab diakui Zulkifli, izin dikeluarkan belum pernah dilakukan survei ke lokasi sebelumnya. Zulkifli juga mengaku pernah didatangi FKKD Tebingtinggi. ''Kami memang sudah menerima pengaduan dari Forum Kepala Desa. Namun mereka tak perlu khawatir, sebab kendati sudah dikeluarkan izin, penetapan lahan belum defenitif dan masih perlu dibicarakan lagi tata batas luas lahan tersebut. Memang dalam pembukaan HTI yang sudah ada izin Menhut tersebut ada rekomendasi dari Gubernur Riau dan Pemkab Bengkalis,'' kata Zulkifli. Menindaklanjuti ini, Dishut kata Zulkifli, telah meminta kepada Dishut Bengkalis untuk melakukan survei. ''Bila ternyata areal HTI benar-benar masuk kebun masyarakat, maka itu itu nantinya akan dikeluarkan dari kawasan izin. Ini ditandai dengan lahan sudah digarap oleh masyarakat, meskipun tak punya bukti surat-menyurat,'' ujar Zulkifli. Apapun penjelasan pemerintah, yang pasti masyarakat hanya menginginkan agar kebun tempat mereka menggantungkan hidup bisa tetap dipertahankan. Dan tidak dipengaruhi oleh 'kehidupan' baru, apalagi bila tanah yang sudah diusahakan secara turun-temurun itu lantas dicaplok menjadi HTI. Akankah pemerintah menciptakan pemiskinan massal pada masyarakat-masyarakat kampung yang minim sumber daya itu.?***

Iklan Mini pribadi :

percobaan iklan :

silahkan daftar iklan toko anda di blog kami....
masih gratis.....